INSPIRASI

LEGENDA NORDSTROM

Nordstrom adalah sebuah legenda tentang pelayanan konsumen. Salah satu cerminan komitmen perusahaan department store ini terhadap kepuasan konsumen adalah janji bahwa semua toko-toko Nordstrom akan menerima pengembalian barang tanpa pertanyaan apapun. Beberapa orang yang kurang bertanggung jawab memang memanfaatkan aturan ini. Mereka membeli baju di Nordstrom, memakainya untuk pesta, dan mengembalikannya keesokan harinya. Sebuah cerita lain terjadi di cabang Nordstrom di Alaska. Di sana, mereka membeli sebuah toko ban yang tutup untuk dijadikan toko baru Nordstrom. Setelah toko dibuka, seorang pelanggan toko sebelumnya mengembalikan sebuah ban. Nordstrom tidak pernah menjual ban. Penjualan ban juga dilakukan oleh pemilik toko sebelumnya. Jelas tidak ada alasan apapun bagi Nordstrom untuk menerima pengembalian tersebut. Tetapi karena komitmen penuh terhadap kepuasan pelanggan, Nordstrom mengambil ban tersebut dan memberikan uang pengembalian secara utuh.

Kisah di atas hanyalah cuilan kecil dari cerita-cerita sejenis yang membangun legenda Nordstrom. Maka, ketika department stores lainnya di US sedang mengalami kelesuan, Nordstrom terus bertumbuh. Beberapa pesaing Nordstrom seperti Macy’s akhirnya mencoba pendekatan Nordstrom terhadap pelanggan. Para karyawan Macy’s dilatih untuk beramah tamah dan tersenyum. Mereka diminta untuk memberikan pelayanan lebih kepada pelanggan. Tetapi sekeras apapun mereka berusaha, Macy’s tetap Macy’s dan Nordstrom tetap Nordstrom. Kenapa? Kenapa kisah sukses Nordstrom yang kelihatan sederhana tersebut tidak bisa ditiru dengan mudah?

Salah satu jawabannya terletak pada budaya perusahaan. Apa yang dilakukan oleh toko dan para karyawan Nordstrom bukanlah sesuatu yang dibuat-buat. Apa yang mereka lakukan pada pelanggan sudah menjadi bagian dari cara hidup dan pola pikir bersama. Karena itu, upaya-upaya yang berusaha meniru di permukaan saja tidak akan berhasil. Di sini juga kita bisa melihat betapa kuatnya peranan budaya perusahaan, meski kekuatan tersebut sering tidak terlihat.

Apa sebenarnya budaya perusahaan? Budaya perusahaan adalah asumsi-asumsi yang disepakati bersama oleh orang-orang di dalam perusahaan dan merupakan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku orang-orang di dalam perusahaan tersebut. Asumsi-asumsi tersebut tercermin dalam cerita-cerita (mis: cerita mengenai ban di atas, atau karyawan FedEx yang menembus badai salju hanya untuk menyampaikan kiriman tepat pada waktunya), norma-norma (mis: semua eksekutif dipanggil dengan nama depan saja/harus dengan sebutan kehormatan lengkap), upacara-upacara seremonial (mis: pemberian penghargaan kepada karyawan terbaik, atau ide terbaik), simbol-simbol (mis: poster-poster bertema pelayanan pelanggan yang ditempel di dinding-dinding kantor), artefak-artefak (mis: kantor yang bersifat terbuka/tertutup). Kesemua itu merupakan hal-hal yang bisa menceritakan pada kita tentang budaya di sebuah perusahaan.

Kenapa budaya bisa sedemikian kuat? Kekuatan utama budaya terletak pada dua hal. Pertama, karena nilai-nilai budaya tersebut merupakan milik bersama. Kedua, karena nilai-nilai budaya tersebut sering tidak disadari para penganutnya sekalipun. Ketika sesuatu tidak pernah disadari keberadaannya, kita tentu tidak bisa menentangnya. Biasanya kekuatan budaya tersebut baru kelihatan ketika kita mencoba merubah sebuah organisasi. Ketika sebuah organisasi hendak diubah, barulah nilai-nilai budaya lama menunjukkan keberadaan dan perlawanannya.
Budaya perusahaan bisa merupakan berkah sekaligus kutukan. Berkah karena budaya perusahaan merupakan pengikat dan pemersatu seluruh elemen organisasi untuk mencapai tujuan bersama. Kutukan karena bila terjadi perubahan lingkungan, perusahaan yang memiliki budaya yang terlalu kuat namun tidak sesuai lagi dengan kondisi luar, akan mendapatkan dirinya kesulitan berubah.

Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk merubah sebuah budaya perusahaan? Tentu itu bukan suatu hal yang mudah. Namun bila harus dilakukan, langkah pertama tentu saja menyadari adanya nilai-nilai yang disepakati bersama tersebut dan mengangkatnya ke permukaan. Setelah itu, barulah nilai-nilai tersebut dianalisis: mana yang harus tetap dipertahankan dan mana yang terpaksa diubah. Penentuan nilai-nilai yang harus dipertahankan tersebut sangat penting karena perubahan terlalu radikal akan menimbulkan cultural shock dan justru mempersulit perubahan.

Setelah nilai-nilai yang harus diubah telah ditentukan, barulah dipikirkan strategi untuk merubah nilai-nilai budaya tersebut. Tentu saja tidak ada resep sukses yang bisa dipakai untuk segala keadaan. Namun perusahaan yang berhasil melakukan perubahan umumnya melakukan beberapa hal secara serentak. Perusahaan-perusahaan tersebut menciptakan sense of crisis untuk menciptakan momentum perubahan, dan menciptakan norma-norma, simbol-simbol, artefak-artefak, dan cerita-cerita baru yang sesuai dengan nilai-nilai budaya baru yang hendak ditanamkan. Selain itu, sistem insentif dan sistem-sistem lainnya dalam perusahaan diseleraskan satu sama lain dengan nilai-nilai baru.

Dan bagaimana dengan nilai-nilai budaya perusahaan yang membantu perusahaan menjadi inovatif? Nilai-nilai seperti berpikiran terbuka, fleksibel terhadap perubahan, dan toleransi terhadap ambiguitas tentu diperlukan. Tetapi di atas segalanya, seperti hasil riset John Kotter dan James Haskett yang dituangkan dalam buku Corporate Culture and Performance, yang terpenting adalah nilai-nilai budaya yang selalu mendahulukan kepentingan pelanggan di atas segalanya. Hanya dengan memiliki nilai-nilai budaya tersebut, perusahaan mampu merubah dirinya terus menerus sesuai dengan tuntutan konsumen dan pasar. Perusahaan dengan nilai-nilai tersebut memang pernah juga mengalami pasang surut. Namun pada akhirnya mereka akan bangkit kembali karena para pelanggan tetap ingin bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan bersangkutan.

Mendahulukan pelanggan. Sungguh sederhana sebenarnya.

source : www.nexusnexia.com